WUJUD DAN JENIS MORFEM
A. Wujud Morfem
Wujud morfem dikenal sebagai wujud huruf atau rangkaian
huruf yang melambangkan bunyi.
Bunyi sebagai
material bahasa memiliki dua jenis, yang di segmen-segmenkan (dipisah-pisahkan)
dan bunyi yang tidak dapat di segmen-segmenkan. Yang pertama sering disebut
juga bunyi segmental dan yang kedua sering disebut bunyi supra segmental.
Segmental atau segemen-segmen bunyi terkecil dalam bahasa fonem. Sesuai dengan
hierarki unsur kebahasaan, semakin besar segmen bunyi itu berturut-turut adalah
morfem, kata morfem, kalimat dan wacana. Suatu wacana dapat disegmentasikan
atas kalimat-kalimat. Kalimat dapat desegmentasikan atas klausa-klausa; klausa
dapat disegmentasikan atas frasa-frasa; frasa dapat disegmentasikan atas kata-kata;
kata dapat disegmentasikan atas morfem-morfem; dan morfem dapat disegmentasikan
atas fonem-fonem. Bunyi-bunyi supra segmental tidak dapat dipisah-pisahkan
seperti bunyi segmental. Intonasi tekanan persediaan, nada, dan durasi, sebagai
unsur supra segmental bahasa. Perbedaan makna antara satu lingual dengan yang
lain ditandai dengan segmen yang berupa segmen, morfem, kata, frasa, klausa
atau ditandai oleh bunyi supra segemental yang berupa intonasi, tekanan,
persendian, nada atau durasi.
Bahasan-bahasan lain yang terdapat dalam morfem-morfem
supra segmental pertama, morfem-morfem mungkin memiliki wujud fonem atau urutan
fonem-fonem. Kedua, bagi bahasa-bahasa tertentu urutan fonem mungkin belum
menandai pengertian atau konsep yang cukup jelas. Ketiga, fonem panjang
dimanfaatkan untuk membedakan makna sehingga panjang suatu fonem dapat dianggap
sebagai suatu morfem. Keempat, naik turunnya nada dimanfaatkan untuk membedakan
makna. Bunyi-bunyi supra segmental selalu dibarengi oleh bunyi-bunyi segmental. Kelima, morfem-morfem bahasa bisa tidak
berwujud dengan kata lain suatu morfem bisa berupa kekosongan.
B. Jenis Morfem
Berdasarkan
kriteria tertentu, morfem dapat diklasifikasikan menjadi beberapa jenis.
Penjenisan ini dapat ditinjau dari dua aspek yaitu hubungan dan distribusi
morfem dengan unsur lain dalam bahasa. Samsuri (1988) menggolongkan morfem
berdasarkan empat kategori yaitu:
(1)
berdasarkan hubungan struktur:
(2)
hubungan posisi dan;
(3)
distribusi.
·
Dilihat berdasarkan hubungan
strukturalnya morfem dapat dibagi menjadi tiga yaitu :
(a)
Morfem yang bersifat adiktif
(tambahan) adalah morfem-morfem umumnya terdapat pada semua bahasa, seperti
pada urutan putra, tunggal, -nya, sakit. Unsur-unsur morfem tersebut
tidak lain penambahan yang satu dengan yang lain.
(b)
Morfem yang bersifat replasif
(penggantian), yaitu morfem-merfem berubah bentuk atau berganti bentuk dari
morfem asalnya. Perubahan bentuk itu disebabkan oleh perubahan waktu atau
perubahan jumlah. Contoh morfem replasif ini terdapat dalam bahasa Inggris.
(c)
Morfem bersifat substraktif
(pengurangan), misalnya terdapat dalam bahasa Perancis. Dalam bahasa ini,
terdapat bentuk adjektif yang dikenakan pada bentuk betina dan jantan
secara ketatabahasaan. Misalnya sifat palsu, baik, panas, kecil jika dikaitkan
dengan kata betina bentuknya /fos/, /bon/, /sod/, /ptit/ tetapi kalau dikaitkan
dengan kata berjenis jantan menjadi /fo/, /bo/, /so/, /pti/.
·
Dilihat dari hubungan posisinya,
morfem pun dapat dibagi menjadi tiga yaitu:
(a)
bersifat urutan. Contoh morfem yang
bersifat urutan terdapat pada kata berpakaian, yaitu /ber-/+/-an/.
Ketiga morfem itu bersifat berurutan karena yang satu diurutkan sesudah yang
lainnya. Tiga jenis morfem ini akan jelas bila diterangkan dengan memakai
morfem-morfem imbuhan dan morfem lainnya.
(b)
bersifat sisipan, Contoh morfem yang
bersifat sisipan dapat dilihat dari kata /telunjuk/. Bentuk tunjuk
merupakan bentuk kata bahasa Indonesia di samping telunjuk. Kalau
diuraikan maka akan menjadi /t…unjuk/+/-el-/.
(c)
bersifat simultan. Morfem simultan
atau disebut pula morfem tidak langsung terdapat pada kata-kata seperti
/kehujanan/, /kesiangan/, dan sebagainya. Bentuk /kehujanan/ terdiri dari
/ke-…-an/ dan /hujan/, /kesiangan/ terdiri dari /ke-…-an/ dan /siang/. Bentuk
/ke-an/ dalam bahasa Indonesia merupakan morfem simultan, terbukti karena
bahasa Indonesia tidak mengenal bentuk /kehujan/ atau /hujanan/ maupun
/kesiang/ atau /siangan/. Morfem simultan itu sering disebut morfem kontinu (discontinuous
morpheme).
·
Ditinjau dari distribusinya, morfem
dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu : morfem bebas dan morfem terikat.
(a)
Morfem bebas adalah morfem yang mempunyai
potensi untuk berdiri sendiri sebagai kata dan dapat langsung membentuk
kalimat. Dengan demikian, morfem bebas merupakan morfem yang diucapkan tersendiri;
seperti: gelas, meja, pergi dan sebagainya. Morfem bebas sudah termasuk kata
meskipun konsep kata tidak hanya morfem bebas, kata juga meliputi semua
bentuk gabungan antara morfem terikat dengan morfem bebas, morfem dasar dengan
morfem dasar. Jadi dapat dikatakan bahwa morfem bebas itu kata dasar (Santoso,
2004; Chaer, 2012: 146-166).
(b)
Morfem terikat merupakan morfem yang
belum mengandung arti, maka morfem ini belum mempunyai potensi sebagai kata.
Untuk membentuk kata, morfem ini harus digabung dengan morfem bebas. Menurut
Samsuri (1994), morfem terikat tidak pernah di dalam bahasa yang wajar
diucapkan tersendiri. Morfem-morfem ini, selain contoh yang telah diuraikan
pada bagian awal, umpanya: ter-, per-, -i, -an. Di samping itu ada juga
bentuk-bentuk seperti – juang, -gurau, -tawa, yang tidak pernah juga diucapkan
tersendiri, melainkan selalu dengan salah satu imbuhan atau lebih. Tetapi
sebagai morfem terikat, yang berbeda dengan imbuhan, bisa mengadakan bentukan
atau konstruksi dengan morfem terikat yang lain (Santoso, 2004).
Sumadi
(2012: 50-63) mengelompokkan morfem bahasa Indonesia berdasarkan tujuh
dasar yaitu:
(a)
kemampuan morfem berdiri sendiri dalam suatu tuturan ;
(b)
kemampuan berdistribusinya morfem dengan morfem lain ;
(c)
produktivias morfem;
(d)
relasi antarunsur morfem;
(e)
sumber morfem;
(f)
jumlah fonem pembentuk morfem dan:
(g)
makna morfem.
(1) Dilihat dari aspek kemampuan morfem
untuk berdiri sendiri dalam suatu tuturan, kita mengenal morfem bebas,
morfem semi bebas, dan morfem terikat.
Konsep bebas, semi bebas, dan
terikat di sini mengacu pada relasi morfem dengan kajian morfologi dan
sintaksis sehingga disebut bebas, semi bebas, dan terikat secara
morfologis dan secara sintaksis. Sebuah morfem dikatakan bebas secara
morfologis artinya sebuah morfem dapat menjadi sebuah kata tanpa digabungkan
dengan morfem lain. Bebas secara sintaksis artinya sebuah morfem tanpa digabungkan
dengan morfem lain sudah dapat dianggap sebagai kalimat. Bentuk seperti tas,
rumah, kuda, batu, beras, misalnya dapat dikategorikan sebagai morfem bebas
baik secara morfologis maupun secara sintaksis. Untuk itu cermatilah penggunaan
bentuk ‘tas’ dalam contoh tuturan antara pelayan toko dan pembeli
berikut:
Pelayan : Ibu mau membeli apa?
Pembeli : Tas.
Bentuk ‘tas’ dalam dialog ini
tergolong morfem bebas baik secara morfologis maupun secara sintaksis. Bentuki
‘tas’ merupakan bentuk yang paling kecil, tak terbagikan dapat berdiri sendiri
sebagai kata (morfologi) dan sebagai jawaban atas pertanyaan bentuk ‘tas’
merupakan wujud kalimat (sintaksis). Bentuk tas dalam konteks jawaban merupakan
bentuk elips dari jawaban lengkap : (Saya mau membeli) tas.
Morfem semi bebas adalah morfem yang
bebas secara morfologis artinya telah berujud kata tetapi masih terikat secara
sintaksis. Terikat secara sintaksis artinya morfem yang berujud kata tidak
dapat diperlakukan sebagai kalimat seperti pada contoh ‘tas’ di atas. Bentuk-bentuk
seperti dan, tetapi, agar, untuk, melainkan, sehingga, ketika, walaupun,
demi, karena, namun, merupakan morfem bebas secara morfologis karena
semuanya merupakan kata tetapi terikat secara sintaksis. Cermatilah tuturan
antara guru dan siswa berikut:
Guru: Mengapa Anda terlambat?
Siswa : (a) *karena
(b) macet
Bentuk jawaban (a) dengan ‘karena’
dalam dialog ini tidak bermakna meskipun ‘karena’ merupakan kata. Jawaban (b)
adalah morfem yang bebas karena kata macet merupakan kalimat (dari konstruksi
lengkap Saya datang terlambat karena macet). Bentuk ‘karena’ tidak dapat
diperlakukan sebagai kalimat seperti ‘macet’ sehingga tergolong morfem
semi bebas. Bentuk ‘karena’ merupakan morfem yang bebas secara morfolgis tetapi
terikat secara sintaksis sehingga menjadi morfem semi bebas. Dari contoh ini
dapat dikatakan bahwa semua konjungsi tergolong morfem semi bebas.
Morfem terikat adalah morfem yang
tidak dapat berdiri sendiri dalam suatu tuturan dan terterikatannya baik secara
morfologis maupun secara sintaksis. Morfem terikat dapat berwujud
(a) afiks (prefiks, infiks, sufiks,
konfiks/simulfiks)
(b) klitika
(c) bentuk dasar terikat
(d) morfem unik.
Klitika
merupakan satuan gramatik yang
terikat seperti afiks, bukan bentuk dasar tetapi memiliki makna leksikal dan
garamatikal. Bentuk -ku, -mu, -nya, -isme, tergolong klitika bisa
terlihat pada bentuk kampusku, sepatumu, senymannya,
kapitalisme.
Salah
satu morfem terikat adalah bentuk dasar terikat. Bentuk dasar bebas sudah dapat
dikatakan sebagai kata dan dapat dilekati afiks untuk membentuk bentuk dasar
atau kata baru misalnya kata sekolah bisa dibentuk kata bersekolah,
persekolahan, menyekolahkan. Lain halnya dengan bentuk dasar terikat seperti
bentuk juang, temu, pakai. Bentuk juang baru menjadi kata hanya setelah
diimbuhi ber- untuk bentuk berjuang, per-/-an untuk membentuk perjuangan,
memper-/-kan untuk memperjuangkan.
Morfem unik adalah morfem yang hanya
dapat digabungkan dengan bentuk tetentu. Morfem {renta} tergolong unik karena
hanya bisa dipadukan dengan morfem {tua}; begitu juga morfem {belia, gulita}
hanya bisa dipadukan pada morfem {muda, gelap}.
(2) Morfem berdasarkan kemampuan
berdistribusi dengan morfem lain
Dilhat dari distribusnya morfem
dibedakan menjadi morfem tertutup dan morfem terbuka. Morfem terbuka berarti
morfem itu bisa berdistribusi dengan morem lain, sedangkan morfem tertutup
tidak bisa berdistribusi dengan morfem lain. Bentuk sudah dan telah secara
semantik bermakna sinonim termasuk kalau kedua bentuk itu diberi imbuhan se-
menghasilkan bentuk sesudah dan setelah.
Dalam proses berdistribusi dengan
morfem lain tampak jelas keduanya berbeda. Bentuk sudah merupakan morfem
terbuka karena bisa berdistribusi dengan morfem lain mumunculkan bentuk berkesudahan
dan menyudahi. Sebaliknya bentuk telah tidak bisa menurunkan bentuk yang
benar karena yang dihasilan adalah bentuk *berketelahan dan *menelahi.
Dengan demikian telah adalah morfem yang tertutup. Contoh lain yang analog
adalah penggunaan bentuk mungkin dan barangkali yang bisa
menurunkan bentuk kemungkinan, memungkinkan, termungkin, dimungkinkan tetapi
tidak diterima adanya bentuk *kebarangkalian, *membarangkalikan,
*terbarangkali, *dibarangkalikan. Bentuk-bentuk dasar yang berfungsi sebagai
alat ada yang tergolong morfem terbuka dan ada yang tertutup. Contoh sapu
terbuka berdistribus dengan bentuk menyapu, tersapu, menyapukan,
disapukan, sapuan. Bentuk piring tidak bisa berdistribusi seperti kata sapu.
Hal yang sama berlaku pada bentuk berupa afiks. Contoh bentuk berlaku
berdistribusi dengan bentuk diberlakukan, memberlakukan, pemberlakuan berbeda
dengan bentuk
(3) Berdasarkan Produktivias: produktif
dan improduktif
Sebutan morfem produktif dan morfem
improduktif merupakan penggolongan bersaran kemampuan morfem untuk menghasilkan
bentuk-bentuk baru. Pembedaan morfem dengan kategori ini berlaku baik untuk
afiks maupun morfem non-afiks. Mengacu pada uraian tentang morfem bebas, semibebas,
terikat ditemukan juga adanya morfem produktif dan improduktif. Bentuk batu dan
arloji tergolong morfem bebas tetapi batu morfem produktif (batu, membatu,
batuan, berbatu, bebatuan, batu-batu sedangkan arloji morfem improduktif
(arloji, arloji-arloji). Produktivitas morfem tidak sama. Morfem berupa afiks
umumnya tergolong morfem produktif.
(4) Berdasarkan Relasi Antarunsur
Dilihat berdasarkan relasi antar
unsurnya morfem dibedakan menjadi morfem utuh dan terbelah. Utuh, jika tidak
disisipi dengan unsur lain. Terbelah, jika disisipi unsur lain. Morfem rumah,
batu, tangan, sepatu, kemah, dll. Adalah morfem utuh karena tidak dapat
disisipi unusr lain.Sebaliknya morfem-morfem berupa afiks konfiks dikategorikan
sebagai morfen terbelah karena relasi unatara u ntur itu berpeluang disisipi
unsur lain. Morfem ke-/-an, misalnya bisa menunkan bentuk bermacam-macam
bergantung unsur dasar yang hendak dimasukkan. Unsur nakal, sehat, malas, rajin
yang dikorelasikan dengan unsur ke-/-an akan menghasilkan bentuk kenakalan,
kesehatan, kemalasan, kerajinan.
(5) Berdasarkan sumber asli atau serapan
Dilihat dari sumbernya morfem bahasa
Indonesia dibedakan menjadi morfem asli dan morfem serapan. Morfem dasar
seperti rumah, air, batu dan morfem afiks ber-, ter- dapat dikategorikan morfem
asli sedangan standar, organisasi, koperasi, isme, isasi, dll. Tergolong morfem
serapan/pungutan.
(6) Berdasarkan jumlah fonemnya:
monofonemis dan polifenemis
Fonem momofonemis hanya terdiri dari
satu fonem sedangkan polifenemis terdir dari banyak fonem. Bentuk a- dan i-
pada morfem amoral dan ilegal tergolong monofonemis karena terdiri atas satu
morfem {a- dan i-}. Kata amoral dan ilegal masing-masing terdiri atas dua
morfem itu {a dan moral} dan {i- dan legal}. Dua bentuk ini terdiri dari morfem
monofonemis /a-/ dan /i-/ dan morfem polifonemis masing /m/, /o/, /r/, /a/,/ l/
dan /l/, /e/, /g/, /a/, /l/.
(7) Berdasarkan Makna : morfem leksikal
dan gramatikal
Dipandang dari maknanya morfem
dibedakan menjadi morfem bermakna leksikal dan morfem bermakna gramatikal.
Makna leksikal merujuk mpada makna yang ada pada leksikon. Morfem {kuda, batu,
besar, gemuk} bermakna leksikal menyakan binatang, benda, sifat. nSebaliknya
morfem afiks seperti {ber-, ter-, me-, meN-, dll.) baru bermakna jika dilekatkan
pada morfem lain. Bentuk ber- tidak bermakna tetapi ketika dilekatkan pada kata
sepatu menjadi bersepatu maka ber- pada bentuk bersepatu bermakna mengenakan
sepatu.
Rangkuman :
Morfem-morfem memiliki wujud yang bermacam-macam. Secara garis besar, wujud morfem dapat dibedakan menjadi dua kata, yakni wujud segmental dan wujud suprasegmental. Selain itu ada morfem “tak berwujud atau kosong yang biasa disebut morfem
zero. Morfem segmental berupa bunyi-bunnyi yang dapat disegmentasikan, suprasegmental berupa bunyi-bunyi yang tidak dapat disegmentasikan. Morfem-morfem segmental berupa fonem atau urtan fonem dibedakan
menjadi dua, yakni morfem berupa afiks dan morfem
berupa bentuk dasar (leksem).
Daftar Pustaka :
Noortyani, Rusma. 2010. Morfologi Bahasa Indonesia (kajian
seluk-beluk kata). Banjarbaru: Scripta Cendikia.